PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL PADA ANAK USIA DINI
Disusun oleh :
Nama : Muhammad Chamim
NIM : 148010024
Kelas : 2B
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN OLAHRAGA
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2015/2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan
kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya jugalah saya dapat menyelesaikan buku
yang berjudul ”Perkembangan Psikososial Pada Anak Usia Dini”.
Buku ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah pada mata kuliah perkembangan
motorik. Saya telah berusaha agar buku ini dapat terselsaikan dengan baik dan
benar,dan juga dapat menambah pengetahuan bagi yang membaca. Buku ini ditulis
dengan bahasa yang jelas dan keterangan yang rinci sehingga mudah dimengerti
baik oleh siapapun yang membaca. Dengan terbitnya buku ini, semoga dapat
menambah rujukan pengetahuan tentang Perkembangan psikososial pada anak usia
dini dan juga dapat memberikan arti yang positif bagi kita semua. Saya berharap
semoga semua yang telah kita lakukan mendapatkan ridho dari Allah, dan semoga
beliau senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya untuk kita semua.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati,
bila ada kritik dan saran dari pembaca akan kami terima dengan senang hati. Tak
lupa untuk mengucapkan terimakasih kepada orang
tua,teman-teman dan semua yang memebrikan dukungannya. Semoga apa yang telah saya terima
dari semua pihak, mudah-mudahan mendapat imbalan dari Allah Subhanahuwataala
dan menjadi amal baik bagi kita semua, amin yarobbil’alamin.
Semarang, 11
Maret 2015
Penulis
I.
DAFTAR
ISI
COVER
KATA PENGANTAR 2
I.
DAFTAR
ISI 3
PEMBAHASAN
II.
PERKEMBANGAN
PSIKOSOSIAL ANAK 4
a.
Hubungan
Keluarga 9
b.
Hubungan
Teman Sebaya 13
c.
Permainan .14
d.
Perkembangan
Gender .15
e.
Perkembangan
Kepribadin dan Moral .16
III.
PERAN PERTEMANAN DALAM PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK 17
IV.
METODE
PENGEMBANGAN PSIKOSOSIAL DI TAMAN KANAK-KANAK 20
V.
PENTINGNYA
MEMAHAMI ANAK USIA DINI 23
VI.
KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI 24
VII.
KONDISI
YANG MEMPENGARUHI ANAK USIA DINI 30
VIII.
POLA
PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI 32
IX.
CARA
BELAJAR ANAK USIA DINI 34
KESIMPULAN 36
DAFTAR
PUSTAKA 37
II.
PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK
Perkembangan
psikososial adalah perkembangan yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis
seperti emosi, motivasi, dan perkembangan pribadi, serta perubahan dalam
bagaimana individu berhubungan dengan orang lain. Terkait dengan perkembangan
psikososial ini, anak-anak praoperasional akan mengalami situasi krisis dalam
dirinya, yakni krisis antara timbulnya inisiatif berhadapan dengan rasa
bersalah
Perkembangan
emosi yang terganggu
Pada tahap
ini, anak mulai belajar bertanggung jawab dan
mengendalikan perasaan, sementara itu anak juga masih perlu menikmati
kebebasannya. Apabila perkembangan rasa bersalah melebihi perkembangan
inisiatif, maka anak akan menjadi anak yang diliputi rasa ragu-ragu (peragu).
Pada situasi seperti ini, iklim sosio psikologis yang kondusif sangat
dibutuhkan guna mendukung individu untuk mencapai perkembangan yang positif dan
optimal.
Pada
tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang
dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks.
Anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas,
yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak
belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling
memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang
berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan
teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap
guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa
kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan
masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu
yang menarik perhatiannya.
Pada masa kanak-kanak awal, terutama masa prasekolah (mulai usia 4
tahun) perkembangan sosial anak sudah mulai tampak jelas, karena mereka sudah
mulai aktif berhubngan dengan teman sebayanya.
Ciri-ciri
perkembangan pada tahap ini adalah :
a. Anak
sudah mulai tahu aturan-aturan, baik dilingkungan keluarganya maupun
dalam lingkungan bermain
b. Sedikit
demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan
c. Anak
sudah mengetahui hak atau kepentingan orang lain
d. Anak
sudah mulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau teman sebaya (peer group)
Saat
memasuki usia plygroup atau taman kanak-kanak merupakan masa awal membentuk
kesadaan sosialnya. Pola perilaku sosial yang terlihat pada masa kanak-kanak
awal, yaitu: kerjasama, kemurahan hati, persaingan dan hasrat akan penerimaan
sosial, empati, simpati, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan
diri sendiri, perilaku kelekatan dan perilaku meniru.
Erik
Erikson (1950) dalam Papalia dan Old, 2008:370 seorang ahli psikoanalisis
mengidentifikasi ada 4 tahap perkembangan psikosial anak usia dini, antara
lain:
1. Trust vs Mistrust/ Kemampuan
mempercayai lingkungan (dimulai sejak lahir-1 tahun)
Sikap
dasar psikososial yang dipelajari oleh bayi, bahwa mereka dapat mempercayai
lingkungannya. Timbulnya trust (percaya) dibantu oleh adanya pengalaman yang
terus-menerus, berkesinambungan, adanya pengalaman yang ada kesamaannya dengan
‘trust’ dalam pemenuhan kebutuhan dasar bayi oleh orang tuanya. Apabila anak
terpenuhi kebutuhan dasarnya dan apabila orang tuanya memberikan kasih sayang
dengan tulus, anak akan berpendapat bahwa dunianya (lingkungannya) dapat
dipercaya atau diandalkan. Sebaliknya apabila pengasuhan yang diberikan orang
tua kepada anaknya tidak memberikan/memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan,
tidak konsisten atau sifatnya negatif, anak akan cemas dan mencurigai
lingkungannya.
2. Autonomy vs Shame
and Doubt/ Kemampuan untuk mandiri (usia antara 2-3 tahun)
3.Inisiative vs
Guilt/ Kemampuan berinisiatif (usia antara 4-5 tahun)
Kemampuan
untuk melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan fisik dan mampu mengambil
inisiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan. Tetapi tidak semua
keinginan anak akan disetujui orang tua dan gurunya. Pada masa ini rasa percaya
dan kebebasan yang anak baru muncul, peran orang tua dan guru yaitu untuk
mendukung inisiatif dan ide anak, jika yang terjadi justru sebaliknya maka akan
timbul pada diri anak keinginan untuk menarik rencananya/ idenya, dan yang
timbul adalah perasaan bersalah.
Apabila
anak usia 4-5 tahun diberi kebebasan untuk menjelajahi dan bereksperimen dalam
lingkungannya, dan apabila orang tua dan guru memberikan waktu untuk menjawab
pertanyaan anak, maka anak cenderung akan lebih banyak mempunyai inisiatif dalam
menghadapi masalah yang ada di sekitarnya. Sebaliknya apabila anak selalu
dihalangi keinginannya, dan dianggap pertanyaan atau apa saja yang dilakukan
tidak ada artinya, maka anak akan selalu merasa bersalah.
4.Industry vs
Inferiorty/ Kemampuan memperoleh yang diingini (usia antara 6-11 tahun)
Pada
masa ini, anak-anak akan mengalami masa dimana dia akan menghadapi perasaan
gairah/ bersemangat dan di pihak lain mengatasi perasaan rendah diri. Dalam
hubungan sosial yang lebih luas, anak-anak akan menyadari kebutuhan untuk
mendapat tempat dalam kelompok seumurnya. Anak harus berjuang untuk mencapai
hal tersebut. Bila dalam kenyataannya ia masih dianggap sebagai anak yang lebih
kecil baik di mata orang tua maupun gurunya, maka akan berkembang perasaan
rendah diri. Anak yang berkembang sebagai anak yang rendah diri, tidak akan
pernah menyukai belajar atau melakukan tugas-tugas yang bersifat intelektual.
Yang lebih parah, anak tidak akan percaya bahwa ia akan mampu mengatasi masalah
yang dihadapinya.
Pada masa-masa perkembangan usia dini
merupakan masa perkembangan karakter mental, kecerdasan dan fisk anak mulai
terbentuk. Pada usia dini inilah, karakter anak akan terbentuk dari hasil
belajar dan menyerap (terutama) dari perilaku orang tua dan dari lingkungan
sekitarnya. Pada usia ini perkembang mental berlangsung sangat cepat. Pada usia
itu pula anak menjadi sangat sensitif dan peka mempelajari dan berlatih sesuatu
yang dilihatnya, dirasakannya dan didengarkannya dari lingkungannya. Itulah beberapa
hal penting yang harus diketahui oleh orang tua mengenai psikologi anak usia dini.
Kalau anak menyenangi hubungan dengan orang lain meskipun kadang-kadang
saja, maka transformasi sikap yang diperoleh dari kontak sosialakan lebih
baik daripada hubungan sosial yang sering tetapi sifat hubungannya kurang baik.
Anak yang lebih menyukai interaksi dengan manusia daripada benda akan lebih
mengembangkan kecakapan sosial, sehingga
mereka akan lebih populer dari pada anak yang interaksinya dengan
manusia terbatas.
Aspek-aspek
penting yang berkembang pada masa ini diantaranya adalah hubungan keluarga,
hubungan dengan teman sebaya, permainan, perkembangan gender, dan perkembangan
moral (Jahja, 2011: 191). Berikut ini akan dikemukakan pembahasan beberapa
aspek tersebut yang berkaitan erat dan dapat mempengaruhi perkembangan
psikososial individu pada masa anak usia dini.
a. Hubungan Keluarga
Hubungan
keluarga sangat penting untuk perkembangan kesehatan fisik, mental, dan sosial
terhadap anak-anak periode praoperasional yang sekaligus sebagai anak-anak
prasekolah. Banyak aspek dan dimensi teknis yang memberi kontribusi bagi
perkembangan psikososial anak-anak (Danim, 2011: 55). Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosio psikilogis
keluarganya. Anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang salingmemperhatikan dan saling
membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga, terjalin komunikasi yang
harmonis di antara anggota
keluarga sertakonsisten dalam melaksanakan aturan,
maka anak akan memiliki kemampuan atau penyesuaian sosial yang
baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain(Yusuf Ln., 2000: 170-171).
Fungsi
keluarga terutama kedua orang tua antara lain adalah memberikan pengasuhan
dengan baik kepada anak-anak. Tiap-tiap keluarga memiliki tipe dan gaya
pengasuhan masing-masing terhadap anak-anak, di mana keluarga yang satu tentu
berbeda dengan keluarga yang lain. Tipe pengasuhan keluarga (orang tua) sangat
tergantung kepada standar budaya dan masyarakat, situasi, serta perilaku
anak-anak pada waktu itu. Tipe pengasuhan ini merupakan aspek penting dalam
hubungan keluarga dan memiliki dampak yang sangat luas terhadap perkembangan
psikososial anak-anak terutama anak-anak periode praoperasional.
Hubungan
keluarga (orang tua) dengan anak-anak dicirikan oleh derajat kontrol dan
kehangatan. Berdasarkan derajat kontrol dan kehangatan tersebut, secara garis
besar hubungan keluarga dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
1). Tipe
pengasuhan otoriter, yaitu tipe pengasuhan yang menunjukkan derajat
kontrol yang tinggi dengan kehangatan yang rendah. Pola
asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak
untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan pola
asuh otoriter mempunyai ciri-ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum dan
kurang kasih sayang. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh terhadap
nilai-nilai dan peraturan mereka. Dalam memberikan peraturan itu tidak ada
usaha untuk menjelaskan kepada anak mengapa ia harus patuh pada peraturan itu.
Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan
merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan
teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki
prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak-anak lain. Anak cenderung
agresif, impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi.
2). Tipe
pengasuhan permisif, yaitu tipe pengasuhan yang cenderung
menunjukkan derajat kontrol yang rendah dengan kehangatan yang tinggi. Pola
asuh yang permisif, anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab tetapi
mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk
mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Dalam
pola asuh ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri anak
karena orang tua yang cenderung membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang
mereka inginkan dan akibatnya anak selalu mengharap semua keinginannya
dituruti. Dalam pola asuh permisif, bimbingan terhadap anak kurang dan semua
keputusan lebih banyakdibuat oleh anak daripada orang tuanya. Dalam pola asuh
ini, sikap acceptance orang tua tinggi namun tingkat kontrolnya rendah.
Dampak perkembangan terhadap psikologi anak yaitu kurang percaya diri,
pengendalian diri buruk, rasa harga diri yang rendah.
3).
Tipe
pengasuhan demokratis, yaitu tipe pengasuhan yang menggunakan
derajat kontrol yang relatif dengan kehangatan yang tinggi.
Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan
pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga
bersikap responsif. Orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak
antara anak dan orang tua. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab
bagi anakanaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka
dewasa. Orang tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai dengan
tingkat-tingkat perkembangananak dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan
keinginan anak. Pola asuh yang ideal atau pola asuh yang baik adalah pola asuh
demokratis dimana anak mempunyai hak untuk mengetahui mengapa
peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya
sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Dampak perkembangan
psikologi anak dengan pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang tinggi,
memiliki moral yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian dan mampu
bergaul dengan teman sebayanya.
Masing-masing
tipe pengasuhan tersebut di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan.
Misalnya saja, tipe pengasuhan otoriter akan cenderung menjadikan anak kurang
percaya diri tetapi taat terhadap aturan dan tipe permisif dapat mendorong anak
untuk tampil percaya diri tetapi cenderung tidak taat aturan serta suka berbuat
seenaknya (semau gue). Adapun tipe pengasuhan demokratis, sampai saat ini masih
dianggap sebagai tipe pengasuhan terbaik yang dapat meminimalisir kekurangan
dan mengakomodir kelebihan dari dua tipe pengasuhan yang lain (otoriter dan
permisif). Hal lain yang tidak kalah pentingnya, yang perlu disadari oleh para
pendidik terutama orang tua adalah, bahwa pada fase Inisiatif vs merasa
bersalah ini anak-anak membutuhkan tipe pengasuhan yang dapat membantunya
tampil percaya diri, memiliki prestasi belajar yang baik, memiliki pengendalian
dan pengawan diri sendiri, dapat bergaul dengan baik, serta mampu membedakan
yang benar dan yang salah.
Berikut
adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh anak :
·
Usia orang tua. Rentang usia tertentu
adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau tua
mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan
kekuatan fisik dan psikososial.
·
Keterlibatan orang tua. Kedekatan
hubungan ibu dan anak sama pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara
kodrati akan ada perbedaan. Di dalam rumah tangga, ayah dapat melibatkan
dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja
bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan
ibu dalam melakuan perawatan anak seperi menggantikan popok ketika anak
mengompol atau mengajaknya bermain bersama sebagai salah satu upaya dalam
melakukan interaksi.
·
Pendidikan orang tua juga berpengaruh
penting dalam pengasuhan.
·
Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh
anak. Orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak
akan lebih siap menjalankan pengasuhan dan lebih relaks.
·
Stres orang tua. Stres yang dialami
orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran
pengasuhannya.
·
Hubungan suami istri. Hubungan yang
kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada kemampuan dalam
menjalankan perannya sebagai orang tua dan merawat serta mengasuh anak dengan
penuh rasa bahagia
b. Hubungan Teman Sebaya
Istilah teman sebaya lebih
ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis. Kontak awal yang baik
dalam keluarga dapat menentukan anak-anak untuk
membangun persahabatan dan hubungan
dengan anak-anak yang lain. Anak-anak yang menerima pengasuhan yang baik dan
penuh kasih sayang penya kecenderungan untuk dapat membangun hubungan yang baik
dengan teman-teman sebayanya. Persahabatan memberikan kesempatan kepada
anak-anak untuk belajar menangani situasi, belajar nilai-nilai, berbagi, dan
mempraktikkan perilaku yang lebih matang. Anak-anak yang unggul dalam hal
sebagaimana tersebut akan lebih populer di lingkungan teman-temannya. Mereka
tidak hanya tahu memiliki teman tetapi juga tahu bagaimana menjadi seorang
teman. Sementara itu anak-anak yang kurang bersahabat atau suka menciptakan
permusuhan cenderung kurang populer di kalangan teman-temannya. Anak-anak yang
egois disertai ketidakunggulan pada hampir semua kegiatan akan terasing dari
teman-temannya atau mungkin saja bukan diasingkan, melainkan mengasingkan diri
(Danim, 2011: 58).
Sejumlah penelitian telah
merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang
sangat penting bagi perkembangan pribadi anak. Salah satu fungsi kelompok teman
sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber
informasi dan perbandingan tentang dunia luar diluar keluarga. Anak
menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman
sebaya. Anak-anak mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama,
atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain. Mereka menggunakan
orang lain sebagai tolok ukur untuk membandingkan dirinya. Proses pembandingan
sosial ini merupakan dasar bagi pembentukan rasa harga diri dan gambaran diri
anak (Desmita, 2010: 145). Relasi yang buruk diantara teman-teman
sebaya pada masa anak-anak ini sering diasosiasikan dengan suatu kecenderungan
perilaku nakal pada masa remaja. Isolasi sosial atau ketidakmampuan
untuk melebur ke dalam suatu jaringan sosial pada usia tengah baya,
diasosiasikan dengan kenakalan atau kelainan pada masa remaja, sebaliknya
relasi yang harmonis diantara teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan
dengan kesehatan mental yang positif pada usia tengah baya.
c. Permainan
Permainan
adalah salah satu bentuk aktifitas sosial yang dominan pada masa anak-anak awal, sebab anak-anak menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain dibanding dengan terlibat aktifitas lain. Kebanyakan hubungan sosial dengan teman sebaya yang terjadi pada masa ini juga terjalin dalam bentukpermainan. Desmita (200:141-142) mengemukakan tiga fungsi utama permainan sebagai berikut:
1). Fungsi kognitif; melalui
permainan anak-anak dapat menjelajahi lingkungannya, mempelajari objek-objek disekitarnya, dan belajar memacahkan masalah yang dihadapinya.
2). Fungsi sosial; permainan
dapat meningkatkan perkembangan sosial anak.
3). Fungsi emosi; permainan
memungkinkan anak untuk memecahkan sebagian dari masalah emosialnya, belajar
mengatasi konflik batin dan kegelisahan.
Berdasarkan
observarsi terhadap anak-anak usia 2 hingga 5 tahun Patern menemukan 3 kategori
permainan anak-anak sebagai berikut:
1) Permainan unoccopied,
anak memperhatikan dan melihat segala sesuatu yang menarik perhatiannya dan melakukan
gerakan-gerakan bebas dalam bentuk tingkah laku yang tidak terkontrol
2) Permainan onlooker,
anak melihat dan memperhatikan anak-anak lain bermain
3) Permainan pararel ,
anak bermain dengan alat-alat permainan yang sama, tetapi tidak terjadi kontak
antara satu dengan yang lain atau tukar menukat alat permainan.
Anak-anak yang sedang
bermain barada dalam suasana yang bebas. Suasana demikian memberikan kesempatan
kepada mereka untuk menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya, baik kepribadian
sebagai individu maupun kepribadiannya sebagai anggota masyarakat. Permainan
juga dapat menjadi sarana bersosialisasi bagi anak, yaitu sarana untuk
mengintrodusir anak menjadi anggota masyarakat, agar anak bisa mengenal dan
menghargai masyarakat. Dalam suasana permainan itu akan timbul rasa
kerukunan yang sangat besar manfaatnya bagi pembentukan sikap sosial sebagai
manusia budaya.
Permainan dan situasi
bermain memberi kesempatan kepada anak untuk mengukur kemampuan serta potensi
sendiri. Ia belajar menguasai macam-macam benda, juga belajar memahami
sifat-sifat benda dan peristiwa yang berlangsung dalam
lingkungannya. Mereka dapat menampilkan fantasi, bakat-bakat, dan
kecenderungannya. Anak laki-laki bermain dengan mobil-mobilan, anak perempuan
dengan boneka-bonekanya. Jika diberikan kertas dan gunting kepada
sekelomok anak-anak kecil, maka masing-masing anak akan menghasilkan “karya”
yang berbeda, sesuai dengan bakat dan kemampuannya.Di tengah permainan itu
setiap anak menghayati macam-macam emosi. Mereka merasakan kegairahan dan
kegembiraan dan tidak secara khusus mengharapkan prestasi-prestasi. Permainan
mempunyai nilai yang sama besarnya dengan nilai seni bagi orang dewasa.
Permainan juga dapat menjadi
alat pendidikan, karena selain d apat memberikan rasa kepuasaan,
kegembiraan, dan kebahagian kepada anak,permainan juga memberikan kesempatan
pralatihan untuk mengenal aturan-aturan permainan, mematuhi norma-norma dan
larangan, dan bertindak secara jujur serta loyal. Semua ini diperlukan oleh
anak sebagai persiapan bagi penghayatan “fair play” dalam pertarungan hidup di
kemudian harinya.Dalam bermain anak belajar menggunakan semua fungsi kejiwaan
dan fungsi jasmaniah dengan sepenuh hati. Hal ini sangat berguna untuk memupuk
sikap serius dan bersunguh-sungguh pada usia dewasa dalam mengatasi setiap
kesulitan hidup yang dihadapi sehari-harinya (Kartono, 1999: 122). Jelaslah
bahwa permainan memiliki arti penting dalam membetuk karakteristik
dan sebagai alat untuk menuangkan kreatifitas anak.
d. Perkembangan Gender
Kebanyakan anak mengalami
sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan gender. Pertama, anak
mengembangkan kepercayaan tentang identitas gender, yaitu rasa laki-laki atau
perempuan. Kedua, anak mengembangkan keistimewaan gender,
sikap tentang jenis kelamin mana yang mereka kehendaki. Ketiga, mereka
memperoleh ketetapan gender, suatu kepercayaan bahwa jenis kelamin seseorang
ditentukan secara biologis, permanen, dan tak berubah-ubah. Pengetahuan tentang
ketiga aspek gender tersebut dinamakan sebagai peran jenis kelamin, atau
stereotip gender. Pada umumnya, secara psikologis anak mencapai ketetapan
gender pada usia tujuh sampai dengan sembilan tahun (Desmita, 2010: 146-147).
Jadi, dalam perkembangan psikososial ini anak akan belajar untuk mengembangkan
kepercayaan identitas gender sesuai dengan tugas dari perkembangan
itu sendiri, yakni menbedakan jenis kelamin. Pada tahap ini anak akan bisa
mengarahkan dirinya pada sikap jenis kelamin mana yang mereka kehendaki, yang
pada akhirnya mereka akan memperoleh ketetapan gender.
e. Perkembungan Kepribadian dan Moral
Masa
ini disebut masa perlawanan atau masa krisis pertama. Krisis ini terjadi
karena ada perubahan yang hebat dalam diri anak-anak, yaitu dia mulai sadar
akan akunya, dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang
lain, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain.Pada
masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntunan dan
tanggung jawab. Oleh karena itu agar tidak berkembang sikap membandel anak yang
kurang terkontrol, pihak orang tua perlu menghadapinya secara bijaksana, penuh
kasih sayang, dan tidak bersikap keras.
Pada
masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok
sosial (orang tua, saudara, dan teman sebaya). Melalui
pengalaman berinteraksi dengan orang lain, anak akan belajar memahami
tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik, diterima, dan disetujui atau perilaku
mana yang buruk, yang tidak boleh, yang ditolak, dan tidak disetujui. Berdasarkan pemahaman
itu, maka pada masa itu anak harus dilatih atau dibiasakan mengenal bagaimana
dia harus bertingkah laku yang baik, seperti mencuci tangan sebelum makan, menggosok
gigi sebelum tidur, berdoa sebelum makan, dan sebagainya (Yusuf Ln, 2000: 175).
III.
PERAN PERTEMANAN
DALAM PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK
Berikut
adalah fase pertemanan dalam perkembangan psikososial anak :
1.
Fase Pertama (Teman untuk Bermain)
Fase ini terjadi pada usia anak antara 5 sampai 7
tahun. Bagi mereka, teman adalah seseorang yang mempunyai mainan yang menarik
dan tempat tinggalnya dekat di sekitar mereka dan mereka mempunyai
ketertarikkan yang sama. Kepribadian dari teman tersebut tidak menjadi masalah,
yang terpenting bagi mereka adalah kegiatan dan mainan apa yang mereka miliki.
Persahabatan mereka akan secepat mungkin terputus dan terbina kembali begitu
saja.
2.
Fase Kedua (Teman untuk Bersama)
Pada fase ini, selain arti teman untuk bermain,
pertemanan juga didasari kepercayaan satu sama lain, terjadi pada usia anak
antara 8 sampai 10 tahun. Dalam usia ini, arti teman sudah melangkah ke
perasaan saling percaya, saling membutuhkan dan saling mengunjungi. Dalam fase
ini, seorang anak untuk mendapatkan teman tidak segampang anak pada fase
pertama, karena mereka harus ada kemauan berteman dari kedua belah pihak.
Mereka tidak akan mau berteman lagi setelah diantara mereka timbul masalah.
3.
Fase Ketiga
Fase ketiga adalah persahabatan yang penuh dengan
saling pengertian. Fase ini terjadi pada usia anak 11 sampai 15 tahun, bagi
mereka arti teman tidak hanya sekedar untuk bermain saja, di sini seorang teman
harus juga bisa berfungsi sebagai tempat berbagi pikiran, perasaan dan
pengertian. Pada fase ini, persahabatan menjadi sangat pribadi karena pada
umumnya mereka sedang mengalami masa puber dengan permasalahan psikologis,
biasanya sahabatnya lebih tahu dibandingkan orang tua mereka sendiri.
Persahabatan tersebut biasanya terputus karena salah seorang dari mereka pindah
rumah atau melanjutkan sekolah di kota lain.
Beberapa
faktor penting yang mempengaruhi hubungan psikososial pertemanan anak :
1.
Cara orang tua mendidik dan membina anak. Orang tua yang mendidik anak dengan
cara bertahap dalam menjelaskan sesuatu hal dan mendidik anak dengan penuh
kasih sayang, biasanya anak-anak mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi
dan mereka akan mudah dalam mengembangkan hubungan sosialnya.
2.
Urutan kelahiran. Biasanya anak yang paling muda lebih populer dan terbiasa
dengan negoisasi daripada saudara-saudaranya.
3.
Gender. Anak laki-laki dan perempuan akan mengalami hal yang berbeda untuk
kejadian yang sama. Seperti anak laki-laki diperbolehkan untuk memanjat pohon,
tetapi anak perempuan tidak diperbolehkan, atau bila anak perempuan menangis
akan lebih ditolerir daripada anak laki-laki yang menangis.
4.
Kecakapan dan keterampilan mengambil peran. Biasanya anak-anak yang memiliki
kecakapan dan keterampilan dalam mengambil apa pun posisi peran, dapat
berkembang menjadi lebih baik, dan biasanya memiliki intelegensi/kecerdasan
yang baik. Dengan hal tersebut, mereka lebih mudah menempatkan dirinya atau
beradaptasi di lingkungan yang asing.
5.
Nama. Ternyata di lingkungan anak-anak, nama dapat membawa pengaruh dalam
kehidupan sosialnya. Nama yang dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal, dapat
membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial psikologi anak, karena
anak-anak masih sangat kongkrit dalam menyatakan sesuatu hal. Akibatnya anak
tersebut merasa rendah diri dan tersudut apabila anak-anak yang lain mencemooh
karena namanya dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal.
6.
Daya tarik. Anak-anak yang memiliki daya tarik tersendiri, biasanya selalu
populer daripada anak yang kurang memiliki daya tarik. Anak yang memiliki daya
tarik, biasanya mereka sering diberi masukkan positif dari sekitarnya sehingga
tumbuh rasa percaya diri yang lebih tinggi.
Di dalam lingkungan sekolah dasar, biasanya ada anak
yang populer dan tidak populer, baik anak tersebut lebih menonjol karena
kepintaranya atau pun karena hal yang
lainnya. Mereka mendapat perhatian lebih, seperti selalu diundang dan
hadir di pesta ulang tahun temannya sedangkan yang tidak populer tidak pernah
diundang. Anak-anak yang menyandang bintang sosiometris, yaitu mereka yang
paling banyak disebut sisi positifnya dari pada sisi negatifnya. Biasanya
mereka disenangi dan diakui oleh teman-temannya. Anak-anak yang terisolir,
biasanya mereka tidak disebut sisi positifnya dan juga tidak disebut sisi
negatifnya. Anak terisolir tersebut seperti tidak terlihat oleh teman-temannya.
Anak-anak yang terasingkan, biasanya mereka oleh anakanak yang lain diasingkan
dan tidak diakui sebagai teman. Anak-anak yang terisolir lebih mudah diakui
dari pada anak-anak yang terasingkan, namun lama kelamaan anakanak yang
terasingkan akan diakui juga. Anak-anak yang terasingkan memiliki resiko
adaptasi lebih besar dalam usia menjelang dewasa. Jika anak-anak ini lemah
dalam menghadapi ejekkan-ejekkan atau godaan dari anak-anak lainnya, maka hal
tersebut dapat membentuk perilaku dan proses belajarnya akan terganggu.
Anak yang terasingkan bereaksi
dengan cara :
1.
Menarik diri
Biasanya mereka menarik diri dari kontak dengan
anak-anak lain. Mereka sebetulnya ingin bermain dengan anak-anak lainnya tetapi
mereka diacuhkan dan diabaikan keberadaannya, malahan diejek-ejek, maka dari
itu mereka selalu menghindar dari anak-anak lainnya. Di rumah biasanya mereka
juga pendiam dan selama mungkin tinggal di kamarnya dengan membaca komik atau
mendengarkan musik, kepada orang tuanya mereka beralasan tidak suka main di
luar.
2.
Perilaku anti sosial
Biasanya mereka sulit untuk diatur padahal anak-anak
lainnya tidak suka dengan perilakunya, misalnya pada saat anak-anak yang lain
bermain bola kemudian datang anak yang terasingkan, tetapi tidak untuk ikut
bermain dengan anak-anak lainnya. Anak tersebut datang hanya sekedar untuk
mengganggu saja dengan mengambil bolanya dan apabila ikut bermain bola pun anak
itu akan tampil dengan kasar sehingga membuat anak-anak lainnya berhenti
bermain. Anak yang terasing itu akan marah-marah hingga akhirnya anak-anak yang
lain terpaksa mengalah dan bermain bola kembali dengan aturan-aturan yang
dikehendaki oleh anak yang terasing tadi. Bimbingan konseling merupakan salah
satu sumbangan psikologi perkembangan dalam pendidikan merupakan penuntun bagi
seseorang yang memiliki tekanan psikis. Dalam penerapannya, bimbingan konseling
ini menjadi salah satu penyalur solusi bagi siswa yang mempunyai masalah yang
mungkin mengganggu kegiatan belajarnya.
IV.
METODE PENGEMBANGAN PSIKOSOSIAL DI TAMAN KANAK-KANAK
a.
Pengelompokan anak
Melalui pengelompokan, anak akan saling mengenal
dberinteraksi secara intensif dengan anak lain.
b.
Modelling dan imitating
Imitasi adalah peniruan sikap, tingkah laku, serta
cara pandang orang lain yang dilakukan secara sengaja. Sejak usia dua sampai tiga
tahun anak mulai senang meniru tingkah laku orang lain yang ada di sekitarnya.
c.
Bermain kooperatif
Bermain
kooperatif
Bermain kooperatif adalah permainan yang melibatkan
sekelompok anak , di mana setiap anak mendapatkan peran dan tugas masing-masing
yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan bersama.
Bermain
kooperatif
d.
Belajar berbagi
Belajar berbagi merupakan latihan keterampilan sosial
yang sangat baik bagi anak. Melalui kegiatan ini anak akan belajar berempati
terhadap anak lain, belajar bermurah hati, bersikap sosial serta berlatih
meninggalkan sifat egosentris.
belajar berbagi
Peran pendidikan dalam membantu kemampuan perkembangan
psikososial, antara lain dengan :
a.
Menyediakan
kesempatan bagi anak untuk menggunakan perspektif orang lain.
b.
Mendukung
sederetan interaksi dengan kelompok sebaya serta orang dewasa.
c.
Mengenali elemen
sosial dari permainan.
d.
Merencanakan
berbagai pengalaman bermain, termasuk pengalaman sendiri dan pengalaman
kelompok.
e.
Memfasilitasi
interaksi sosial di dalam bermain.
f.
Mendorong otonomi
dan inisiatif perkembangan anak.
g.
Mengenali bahwa
anak-anak mengembangkan rasa sendiri dari interaksinya dengan orang lain.
h.
Memberikan input
yang ralistis dan jujur kepada anak-anak untuk membantu mereka mengembangkan
harga diri yang realistis dan seimbang.
i.
Membantu
anak-anak dalam usahanya untuk mengembangan kontrol internal.
j.
Mengenali nilai
sahabat bagi anak-anak kecil.
k.
Mengamati
pola-pola interaksi diantara anak-anak, dengan tujuan mendukung interaksi
positif dan membantu anak-anak yang membutuhkan bantuan dalam memasuki dan
mempertahankan interaksi.
l.
Menyediakan
metode perilaku prososial atau menolong orang lain dengan sukarela.
m.
Mendemonstrasikan
strategi-strategi untuk mengelola agresi.
n.
Mendorong
negosiasi diantara teman sebaya.
o.
Mengenali dan
menghargai emosi anak.
p.
Mengenalkan dan
memberikan kesempatan yang sama antara anak laki-laki dan perempuan dalam
mengeksplorasi sesuatu.
V.
PENTINGNYA MEMAHAMI ANAK USIA DINI
Anak usia dini memiliki karakteristik
yang khas, baik secara fisik, psikis, sosial, moral dan sebagainya. Masa
kanak-kanak juga masa yang paling penting untuk sepanjang usia hidupnya. Sebab
masa kanak-kanak adalah masa pembentukan pondasi dan masa kepribadian yang akan
menentukan pengalaman anak selanjutnya. Sedemikian pentingnya usia tersebut
maka memahami karakteristik anak usia dini menjadi mutlak adanya bila ingin
memiliki generasi yang mampu mengembangkan diri secara optimal.
Pengalaman yang dialami anak pada usia
dini akan berpengaruh kuat terhadap kehidupan selanjutnya. Pengalaman tersebut
akan bertahan lama. Bahkan tidak dapat terhapuskan, walaupun bisa hanya
tertutupi. Bila suatu saat ada stimulasi yang memancing pengalaman hidup yang
pernah dialami maka efek tersebut akan muncul kembali walau dalam bentuk yang
berbeda.
Beberapa hal menjadi alasan pentingnya
memahami karakteristik a anak usia dini. Sebagian dari alasan tersebut dapat
diuraikan sebagaimana berikut :
a. Usia
dini merupakan usia yang paling penting dalam tahap perkembangan manusia, sebab
usia tersebut merupakan periode diletakkannya dasar struktur kepribadian yang
dibangun untuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu perlu pendidikan dan
pelayanan yang tepat.
b. Pengalaman
awal sangat penting, sebab dasar awal cenderung bertahan dan akan mempengaruhi
sikap dan perilaku anak sepanjang hidupnya, disamping itu dasar awal akan cepat
berkembang menjadi kebiasaan. Oleh karena itu perlu pemberian pengalaman awal
yang positif.
c. Perkembangan
fisik dan mental mengalami kecepatan yang luar biasa, dibanding dengan
sepanjang usianya. Bahkan usia 0 – 8 tahun mengalami 80% perkembangan otak
dibanding sesudahnya. Oleh karena itu perlu stimulasi fisik dan mental.
Ada
banyak hal yang diperoleh dengan memahami karakteristik anak usia dini antara
lain :
a. Mengetahui
hal-hal yang dibutuhkan oleh anak yang bermanfaat bagi perkembangan hidupnya.
b. Mengetahui
tugas-tugas perkembangan anak sehingga dapat memberikan stimulasi kepada anak
agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik.
c. Mengetahui
bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan
kebutuhannya.
d. Menaruh
harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis.
e. Mampu
mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan kemampuan.
VI.
KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI
Anak usia dini (0 – 8 tahun) adalah
individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
pesat. Bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan karena itulah maka usia
dini dikatakan sebagai golden age
(usia emas) yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya.
Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik. Secara lebih rinci akan
diuraikan karakteristik anak usia dini sebagai berikut :
a. Usia
0 – 1 tahun
Pada masa bayi
perkembangan fisik mengalami kecepatan luar biasa, paling cepat dibanding usia
selanjutnya. Berbagai kemampuan dan ketrampilan dasar dipelajari anak pada usia
ini. Beberapa karakteristik anak usia bayi dapat dijelaskan antara lain :
1. Mempelajari
ketrampilan motorik mulai dari berguling, merangkak, duduk, berdiri dan
berjalan.
2. Mempelajari
ketrampilan menggunakan panca indera, seperti melihat atau mengamati, meraba,
mendengar, mencium dan mengecap dengan memasukkan setiap benda ke mulutnya.
3. Mempelajari
komunikasi sosial. Bayi yang baru lahir telah siap melaksanakan kontrak sosial
dengan lingkungannya. Komunikasi responsif dari orang dewasa akan mendorong dan
memperluas respon verbal dan non verbal bayi.
Berbagai
kemampuan dan ketrampilan dasar tersebut merupakan modal penting bagi anak
untuk menjalani proses perkembangan selanjutnya.
b. Usia
2 – 3 tahun
Anak pada usia
ini memiliki beberapa kesamaan karakteristik dengan masa sebelumnya. Secara
fisik anak masih mengalami pertumbuhan yang pesat. Beberapa karakteristik
khusus yang dilalui anak usia 2 – 3 tahun antara lain :
1. Anak
sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. Ia memiliki
kekuatan observasi yang tajam dan keinginan belajar yang luar biasa. Eksplorasi
yang dilakukan oleh anak terhadap benda-benda apa saja yang ditemui merupakan
proses belajar yang sangat efektif. Motivasi belajar anak pada usia tersebut
menempati grafik tertinggi dibanding sepanjang usianya bila tidak ada hambatan
dari lingkungan.
2. Anak
mulai mengembangkan kemampuan berbahasa. Diawali dengan berceloteh, kemudian
satu dua kata dan kalimat yang belum jelas maknanya. Anak terus belajar dan
berkomunikasi, memahami pembicaraan orang lain dan belajar mengungkapkan isi
hati dan pikiran.
3. Anak
mulai belajar mengembangkan emosi. Perkembangan emosi anak didasarkan pada
bagaimana lingkungan memperlakukan dia. Sebab emosi bukan ditemukan oleh bawaan
namun lebih banyak pada lingkungan.
c. Usia
4 – 6 tahun
Anak usia 4 – 6
tahun memiliki karakteristik antara lain :
1. Berkaitan
dengan perkembangan fisik, anak sangat aktif melakukan berbagai kegiatan. Hal
ini bermanfaat untuk mengembangkan otot-otot kecil maupun besar.
2. Perkembangan
bahasa juga semakin baik. Anak sudah mampu memahami pembicaraan orang lain dan
mampu mengungkapkan pikirannya dalam batas-batas tertentu.
3. Perkembangan
kognitif (daya pikir) sangat pesat, ditunjukkan dengan rasa ingin tahu anak
yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar. Hl itu terlihat dari seringnya
anak menanyakan segala sesuatu yang dilihat.
4. Bentuk
permainan anak masih bersifat individu, bukan permainan sosial. Walaupun
aktifitas bermain dilakukan anak secara bersama.
d. Usia
7 – 8 tahun
Karakteristik
perkembangan anak usia 7 – 8 tahun antara lain :
1. Perkembangan
kognitif anak masih berada pada masa yang cepat. Dari segi kemampuan, secara
kognitif anak sudah mampu berpikir bagian per bagian. Artinya anak sudah mampu
berpikir analisis dan sintesis, deduktif dan induktif.
2. Perkembangan
sosial anak mulai ingin melepaskan diri dari otoritas orangtuanya. Hal ini
ditunjukkan dengan kecenderungan anak untuk selalu bermain di luar rumah
bergaul dengan teman sebaya.
3. Anak
mulai menyukai permainan sosial. Bentuk permainan yang melibatkan banyak orang
dengan saling berinteraksi.
4. Perkembangan
emosi anak sudah mulai berbentuk dan tampak sebagai bagian dari kepribadian
anak. Walaupun pada usia ini masih pada taraf pembentukan, namun pengalaman
anak sebenarnya telah menampakkan hasil.
Setiap
menjelang masuk SD, anak telah mengembangkan keterampilan berpikir bertindak
dan pengaruh sosial yang lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada
dasarnya egosentris (berpusat pada diri sendiri) dan dunia mereka adalah rumah
keluarga, dan taman kanak‐kanaknya.
Selama
duduk di kelas kecil SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering rendah
diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka
"dewasa". Mereka merasa "saya dapat mengerjakan sendiri tugas
itu, karenanya tahap ini disebut tahap "I can do it my self". Mereka
sudah mampu untuk diberikan suatu tugas.
Daya
konsentrasi anak tumbuh pada kelas kelas besar SD. Mereka dapat meluangkan
lebih banyak waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali mereka
dengan senang hati menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya tindakan
mandiri, kerjasama dengan kelompok dan bertindak menurut cara cara yang dapat
diterima lingkungan mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang jujur.
Selama
masa ini mereka juga mulai menilai diri mereka sendiri dengan membandingkannya
dengan orang lain. Anak anak yang lebih mudah menggunakan perbandingan sosial (social
comparison) terutama untuk norma‐norma
sosial dan kesesuaian jenis‐jenis
tingkah laku tertentu. Pada saat anak‐anak
tumbuh semakin lanjut, mereka cenderung menggunakan perbandingan sosial untuk
mengevaluasi dan menilai kemampuan kemampuan mereka sendiri.
Sebagai
akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif mereka, anak pada kelas besar
di SD berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai
orang dewasa.Terjadi perubahan perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial
dan emosional mereka. Di kelas besar SD anak laki‐laki
dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan
bahwa dirinya berharga. Tidak diterima dalam kelompok dapat membawa pada
masalah emosional yang serius Teman‐teman
mereka menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Kebutuhan untuk diterima oleh
teman sebaya sangat tinggi. Remaja sering berpakaian serupa. Mereka menyatakan
kesetiakawanan mereka dengan anggota kelompok teman sebaya melalui pakaian atau
perilaku.
Hubungan
antara anak dan guru juga seringkali berubah. Pada saat di SD kelas rendah,
anak dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru. Di awal awal tahun kelas
besar SD hubungan ini menjadi lebih kompleks. Ada siswa yang menceritakan
informasi pribadi kepada guru, tetapi tidak mereka ceritakan kepada orang tua
mereka. Beberapa anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model. Sementara
itu, ada beberapa anak membantah guru dengan cara cara yang tidak mereka
bayangkan beberapa tahun sebelumnya. Malahan, beberapa anak mungkin secara terbuka
menentang gurunya.
Salah
satu tanda mulai munculnya perkembangan identitas remaja adalah reflektivitas
yaitu kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam
benak mereka sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka juga mulai menyadari
bahwa ada perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta
bagaimana mereka berperilaku. Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinan‐kemungkinan. Remaja mudah dibuat tidak puas oleh diri
mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka, membandingkan diri
mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah perilaku mereka. Pada
remaja usia 18 tahun sampai 22 tahun, umumnya telah mengembangkan suatu status
pencapaian identitas.
Kebutuhan
Peserta Didik Siswa SD
- Anak SD Senang Bermain
Karakteristik
ini menuntut guru SD untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan
permainan lebih–lebih untuk kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model
pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru
hendaknya mengembangkan model pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan
jadwal pelajaran hendaknya diselang saling antara mata pelajaran serius seperti
IPA, Matematika, dengan pelajaran yang mengandung unsur permainan seperti
pendidikan jasmani, atau Seni Budaya dan Keterampilan (SBK).
- Anak SD Senang Bergerak
Orang
dewasa dapat duduk berjam‐jam,
sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh
karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang
lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
- Anak usia SD Senang Bekerja dalam
Kelompok
Anak
usia SD dalam pergaulannya dengan kelompok sebaya, mereka belajar aspekaspek
yang penting dalam proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturanaturan
kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya
dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang
lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga dan membawa implikasi bahwa
guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja
atau belajar dalam kelompok, serta belajar keadilan dan demokrasi.
Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model
pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok.
Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota 3‐4 orang untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu
tugas secara kelompok.
- Anak SD Senang Merasakan atau
Melakukan/memperagakan Sesuatu Secara Langsung
Ditunjau
dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional konkret.
Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep
baru dengan konsep‐konsep
lama. Berdasar pengalaman ini, siswa membentuk konsep‐konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi‐fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan
sebagainya. Bagi anak SD, penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih
dipahami jika anak melaksanakan sendiri, sama halnya dengan memberi contoh bagi
orang dewasa. Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh
anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak
langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan
dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana
angin saat itu bertiup.
VII.
KONDISI YANG MEMPENGARUHI ANAK USIA DINI
Banyak hal yang dapat mempengaruhi
kondisi anak usia dini, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu :
a. Faktor
bawaan
b. Faktor
lingkungan
Pertama, faktor bawaan adalah faktor
yang diturunkan dari kedua orangtuanya, baik yang bersifat fisik maupun psikis.
Faktor bawaan lebih dominan dari pihak ayah daripada ibu atau sebaliknya.
Faktor ini tidak dapat direkayasa oleh orangtua yang menurunkan. Dan hanya
ditentukan oleh waktu satu detik, yaitu saat bertemunya sel sperma dan ovum.
Oleh karena itu, saat ovulasi merupakan saat paling berharga untuk sepanjang
hidup manusia, karena pada saat itulah diturunkan sifat bawaan yang akan
terbawa sepanjang usia manusia.
Kedua, faktor lingkungan yaitu faktor
yang berasal dari luar faktor bawaan, meliputi seluruh lingkungan yang dilalui
oleh anak. Lingkungan dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu lingkungan dalam
kandungan dan lingkungan di luar kandungan.
Lingkungan dalam kandungan sangat
penting bagi perkembangan anak. Karena perkembangan janin dalam kandungan
mengalami kecepatan luar biasa, lebih cepat 200.000 kali dibanding perkembangan
sesudah lahir. Oleh karena itu lingkungan yang positif dalam kandungan akan
berpengaruh positif bagi perkembangan janin, demikian juga sebaliknya.
Lingkungan di luar kandungan, juga besar
pengaruhnya terhadap perkembangan anak usia dini. Sebab anak menjadi bagaimana
seorang anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan memperlakukan dia.
Lingkungan luar kandungan dibedakan menjadi tiga hal yaitu :
a. Lingkungan
keluarga, yaitu lingkungan yang dialami anak dalam berinteraksi dengan anggota
keluarga baik interaksi secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan
keluarga khususnya dialami anak usia 0 – 3 tahun. Usia ini menjadi landasan
bagi anak untuk melalui proses selanjutnya.
b. Lingkungan
masyarakat atau lingkungan teman sebaya. Seiring bertambahnya usia, anak akan
mencari teman untuk berinteraksi dan bermain bersama. Kondisi teman sebaya
turut menentukan bagaimana anak jadinya.
c. Lingkungan
sekolah. Pada umumnya anak akan memasuki lingkungan sekolah pada usia 4 – 5
tahun atau bahkan yang 3 tahun. Lingkungan di sekolah besar pengaruhnya
terhadap perkembangan anak. Sekolah yang baik akan mampu berperan secara baik
dengan memberi kesempatan dan mendorong anak untuk mengaktualisasikan diri
sesuai dengan kemampuan yang sesungguhnya.
VIII.
POLA PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI
Perkembangan setiap anak memiliki pola
yang sama, walaupun kecepatannya berbeda. Setiap anak mengikuti pola yang dapat
diramalkan dengan cara dan kecepatannya sendiri. Sebagian anak berkembang
dengan tertib tahap demi tahap, langkah demi langkah. Namun sebagian yang lain
mengalami kecepatan melonjak. Di samping itu ada juga yang mengalami
penyimpangan atau keterlambatan. Namun secara umum setiap anak berkembang
dengan mengikuti pola yang sama. Beberapa pola tersebut antara lain :
a. Perkembangan
Fisik
Perkembangan
fisik mengikuti hukum perkembangan yang disebut “cephalocaudal” dan “proximodistal”.
Hukum cephalocaudal menyatakan bahwa perkembangan dimulai dari kepala kemudian
menyebar ke seluruh tubuh sampai ke kaki. Sedangkan hukum proximodistal
menyatakan bahwa perkembangan bergerak dari pusat sumbu ke ujung-ujungnya atau
dari bagian yang dekat sumbu pusat tubuh ke bagian yang lebih jauh.
b. Perkembangan
bergerak dari tanggapan umum menuju ke tanggapan khusus
Bayi
pada awal perkembangan memberikan reaksi dengan menggerakkan seluruh tubuh.
Semakin lama ia akan mampu memberikan reaksi dalam bentuk gerakan khusus.
Demikian seterusnya dalam hal-hal lain.
c. Perkembangan
berlangsung secara berkesinambungan
Proses
perkembangan diawali dari bertemunya sel sperma dan ovum yang disebut ovulasi,
dan terus secara berkesinambungan hingga kematian. Kadang perlahan, kadang
cepat, kadang maju terus, kadang sejenak mundur. Satu tahap perkembangan
menjadi landasan bagi tahap perkembangan selanjutnya. Tidak ada pengalaman anak
yang sia-sia atau hilang terhapus. Hanya tertutupi oleh pengalaman-pengalaman
berikutnya.
d. Terhadap
periode keseimbangan dan tidak keseimbangan
Setiap
anak mengalami periode dimana ia merasa bahagia, mudah menyesuaikan diri dan
lingkungannya pun bersikap positif terhadapnya. Namun juga ada masa
ketidakseimbangan yang ditandai dengan kesulitan anak untuk menyesuaikan diri,
sulit diatur, emosi negatif dan sebagainya. Pola tersebut bila digambarkan
ibarat spiral yang bergerak melingkar dengan jangka waktu kurang lebih 6 bulan,
hingga akhirnya anak menemukan ketenangan dan jati diri.
e. Terhadap
tugas perkembangan yang harus dilalui anak dari waktu ke waktu
Tugas
perkembangan adalah sesuatu yang harus dilakukan atau dicapai oleh anak
berdasarkan tahap usianya. Tugas perkembangan bersifat khas, sesuai dengan
tuntutan dan ukuran yang berlaku di masyarakat. Misalnya bayi lahir dia akan
melaksanakan tugas perkembangan berguling, tengkurap, duduk, berdiri, berjalan,
bermain dan seterusnya. Kualitas dan kuantitas tugas perkembangan antara satu
daerah berbeda dengan daerah lain.
IX.
CARA BELAJAR ANAK USIA DINI
Anak pada usia dini (0 – 8 tahun)
memiliki kemampuan belajar yang luar biasa. Khususnya pada masa kanak-kanak
awal. Keinginan anak untuk belajar menjadikan ia aktif dan eksploratif. Anak
belajar dengan seluruh panca inderanya untuk dapat memahami sesuatu, dan dalam
waktu singkat ia akan beralih ke hal lain untuk dipelajari. Lingkungan lah yang
kadang menjadikan anak terhambat dalam mengembangkan kemampuan belajarnya. Bahkan
seringkali lingkungan mematikan keinginannya untuk bereksplorasi.
Cara belajar anak mengalami perkembangan
seiring dengan bertambahnya usia. Secara garis besar dapat diuraikan cara
belajar anak usia dini mulai dari awal perkembangan.
a. Usia
0 – 1 tahun
Anak
belajar dengan mengendalikan kemampuan panca inderanya. Yakni pendengaran,
penglihatan, penciuman, peraba dan perasa. Secara bertahap panca indera anak
difungsikan lebih sempurna. Hingga usia satu tahun anak ingin mempelajari apa
saja yang dilihat dengan mengarahkan seluruh panca indera. Hal itu nampak pada
aktivitas anak memasukkan segala macam benda ke dalam mulut sebagai bagian dari
proses belajar.
b. Usia
2 – 3 tahun
Anak
melakukan proses belajar dengan lebih sungguh-sungguh. Ia memperhatikan apa saja
yang ada di lingkungannya untuk kemudian ditiru. Jadi cara belajar anak yang
utama pada usia ini adalah meniru. Meniru segala hal yang ia lihat dan ia
dengar. Selain itu perkembangan bahasa anak pada usia tersebut sudah mulai
berkembang. Anak mengembangkan kemampuan berbahasa juga dengan cara meniru.
c. Usia
4 – 6 tahun
Kemampuan
bahasa anak semakin baik. Begitu anak mampu berkomunikasi dengan baik maka akan
segera diikuti proses belajar anak dengan cara bertanya. Anak akan menanyakan
apa saja yang ia saksikan. Pertanyaan yang tiada putus. Saat demikian kognisi
anak berkembang pesat dan keinginan anak untuk belajar semakin tinggi. Anak
belajar melalui bertanya dan berkomunikasi.
d. Usia
7 – 8 tahun
Perkembangan
anak dari berbagai aspek sudah semakin baik. Walau demikian proses perkembangan
anak masih terus berlanjut. Anak melakukan proses belajar dengan cara yang
semakin kompleks. Ia menggunakan panca inderanya untuk menangkap berbagai
informasi dari luar. Anak mulai mampu membaca dan berkomunikasi secara luas. Hal
itu menjadi bagian dari proses belajar anak.
KESIMPULAN
Perkembangan psikososial adalah proses
kemampuan belajar dan tingkah laku yang berhubungan dengan individu untuk hidup
sebagai bagian dari kelompoknya. Di dalam perkembangan sosial, anak dituntut
untuk memiliki kemampuan yang sesuai dengan tuntutan sosial di mana mereka berada.
Tuntutan sosial yang dimaksud adalah anak dapat bersosialisasi dengan baik
sesuai dengan tahap perkembangan dan usianya, dan cenderung menjadi anak yang
mudah bergaul
Perilaku sosial merupakan aktivitas
dalam hubungan dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, guru, orang tua
maupun saudara-saudaranya. Saat berhubungan dengan orang lain, terjadi
peristiwa-peristiwa yang sangat bermakna dalam kehidupan anak yang dapat
membentuk kepribadiannya, dan membentuk perkembangannya menjadi manusia yang
sempurna.
Perilaku yang ditunjukkan oleh seorang
anak dalam lingkungan sosialnya sangat dipengaruhi oleh kondisi emosinya.
Perkembangan emosi seorang anak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Emosi
merupakan suatu gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan melibatkan
hampir keseluruhan diri individu. Emosi juga berfungsi untuk mencapai pemuasan
atau perlindungan diri atau bahkan kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan
dengan lingkungan atau objek tertentu. Pada saat anak masuk Kelompok Bermain
atau juga PAUD, mereka mulai keluar dari lingkungan keluarga dan memasuki dunia
baru. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi dari suasana emosional yang
aman, ke kehidupan baru yang tidak dialami anak pada saat mereka berada di
lingkungan keluarga. Dalam dunia baru yang dimasuki anak, ia harus pandai
menempatkan diri diantara teman sebaya, guru dan orang dewasa di sekitarnya. Tidak setiap anak berhasil melewati tugas
perkembangan sosioemosional pada usia dini, sehingga berbagai kendala dapat
saja terjadi. Sebagai pendidik sepatutnyalah untuk memahami perkembangan
sosioemosional anak sebagai bekal dalam memberikan bimbingan terhadap anak agar
mereka dapat mengembangkan kemampuan sosial dan emosinya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Makalah Seminar, Mengembangkan Potensi Anak Usia
Dini di Ambarukmo Palace Hotel Yogyakarta, 24 September 1998.
Hurlock, Elizabeth B., Perkembangan Anak, Jilid I
dan Ikan Mas, Jakarta : Erlangga, 1992.
Ali Nugraha dan Yeni Rachmawati. (2004). Metode
Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta : Universitas Terbuka.
Slamet Suyanto. (2005). Konsep Dasar Pendidikan
Anak Usia Dini. Jakarta : Depdiknas
Siti Aisyah. (2008). Perkembangan dan Konsep
Dasar Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta : Universitas Terbuka
Good
ReplyDeleteGood
ReplyDeleteterima kasih
ReplyDelete